Tikuse Pada Ngidung, Bedah Buku Mohamad Sobary di Semarang. Morning Sedulur, Rabu lalu (09/05), Mimin Semarang Coret menghadiri Bedah Buku terbaru Sastrawan Ternama Kang Mohamad Sobary berjudul Tikuse Pada Ngidung terbitan KPG.
Acara bedah buku ini diadakan di Library Cafe John Djikstra di Kota Lama Semarang. Begitu tahu informasinya, Mimin langsung daftar. Penasaran pengen tahu seluk-beluk buku Kang Sobary terbaru!
Setelah tiba di TKP, kafe John Djikstra yang berada di sebuah rumah berlantai dua dari kayu sudah cukup ramai. Kafe ini terletak tak jauh dari Taman Srigunting dan Semarang Contemporary Art Gallery. Di sepanjang sisi dinding, berderet rak buku setinggi pinggang berisi berbagai buku.
Di balkon lantai dua, sudah tersedia nasi dan lauk-pauknya. Wah, meriah sekali acara bedah bukunya, ada makan siang! Hehe. Mimin menanti acara dimulai cukup lama sambil baca buku. Suguhannya berlimpah lho, mulai dari jagung dan kacang rebus, risoles hingga teh dan kopi terhidang.
Akhirnya, yang dinantikan tiba juga! Kang Sobary bersama editor senior KPG Pak Candra Gautama beserta penulis Kudus Mas Aftonul Afif yang menjadi pembahas hari itu.
Setelah hiburan lagu dengan gitar dari kru John Djikstra, acara pun dimulai. Sebelumnya, Mimin perkenalkan dulu Kang Sobary, budayawan Indonesia. Mohamad Sobary lahir di Bantul 66 tahun lalu, bergelar Doktor dari Monash University.
Sebagai manusia ia kaya pengalaman. Sejak muda, beliau menulis cerita remaja dan cerita anak. Pernah menjadi peneliti LIPI, memimpin LKBN Antara dan banyak lagi. Kini, ia menjadi esais dan penulis buku di berbagai koran nasional. Bukunya antara lain Kang Sejo Melihat Tuhan (GPU, 1993).
Dunia buku dianggap memasuki senjakala, karena serbuan internet dan teknologi lainnya. Mengapa Kepustakaan Populer Gramedia alias KPG berani menerbitkan buku esai dari penulis senior yang kurang dikenal kids zaman now?
Pertanyaan sang pembawa acara ini dijawab lugas Pak Candra. Bahwa KPG yakin suatu bangsa tidak akan berdiri kokoh jika tidak ada yang bersedia menerbitkan buku yang mengandung nilai kebenaran.
Esai yang baik tidak sekadar memaparkan peristiwa tapi memberi perspektif lain, memberi wawasan dan pemikiran baru. Berbeda dengan jurnalis yang hanya menuliskan peristiwa yang terjadi .
Kang Sobary yang seorang doktor, peneliti LIPI, dengan pengalaman kaya, sehinggga esainya jika mengupas sebuah peristiwa tidak akan sama dengan penulis dan pengamat lain. Itulah pentingnya seorang esais.
Menurut Pak Candra, KPG ingin menemukan solusi dari seabrek permasalahan di negeri ini. Cara Kang Sobary merespon masalah yang ada lewat tulisannya cukup membuat pembaca merenung dan berpikir lebih dalam.
Kang Sobary seorang penulis yang konsisten menuliskan sebuah peristiwa dengan akal sehat publik, memperjuangkan sikap empati pada publik bahwa publik sanggup menjaga nalarnya. Masyarakat Indonesia sejatinya cerdas, dapat berpikir jernih.
Jika esais lain kerap meremehkan akal sehat publik, menganggap masyarakat bodoh, tulisan Kang Sobary mencoba berbeda, ia kerap ngomong tentang akal sehat, tetap berempati pada publik, berpihak pada publik. Misalnya bagaimana esainya menunjukkan keberpihakan Kang Sobary pada petani Kendeng.
Sikap semacam ini bisa kita temui pada hampir setiap persoalan isu yang beliau tulis. Karakteristik pemikirannya tidak mengawang-awang, ia memihak yang lemah.
Keberpihakan dalam esai Kang Sobary, menurut Mas Afif, sang pembahas terlihat jelas. Penulis buku Mengendalikan Masa Depan dan Teori identitas Sosial ini membandingkan Kang Sobary dengan esais dan budayawan terkenal lainnya.
Bedah Buku Sobary di John Djikstra Semarang |
Acara bedah buku ini diadakan di Library Cafe John Djikstra di Kota Lama Semarang. Begitu tahu informasinya, Mimin langsung daftar. Penasaran pengen tahu seluk-beluk buku Kang Sobary terbaru!
Setelah tiba di TKP, kafe John Djikstra yang berada di sebuah rumah berlantai dua dari kayu sudah cukup ramai. Kafe ini terletak tak jauh dari Taman Srigunting dan Semarang Contemporary Art Gallery. Di sepanjang sisi dinding, berderet rak buku setinggi pinggang berisi berbagai buku.
Di balkon lantai dua, sudah tersedia nasi dan lauk-pauknya. Wah, meriah sekali acara bedah bukunya, ada makan siang! Hehe. Mimin menanti acara dimulai cukup lama sambil baca buku. Suguhannya berlimpah lho, mulai dari jagung dan kacang rebus, risoles hingga teh dan kopi terhidang.
Akhirnya, yang dinantikan tiba juga! Kang Sobary bersama editor senior KPG Pak Candra Gautama beserta penulis Kudus Mas Aftonul Afif yang menjadi pembahas hari itu.
Setelah hiburan lagu dengan gitar dari kru John Djikstra, acara pun dimulai. Sebelumnya, Mimin perkenalkan dulu Kang Sobary, budayawan Indonesia. Mohamad Sobary lahir di Bantul 66 tahun lalu, bergelar Doktor dari Monash University.
Sebagai manusia ia kaya pengalaman. Sejak muda, beliau menulis cerita remaja dan cerita anak. Pernah menjadi peneliti LIPI, memimpin LKBN Antara dan banyak lagi. Kini, ia menjadi esais dan penulis buku di berbagai koran nasional. Bukunya antara lain Kang Sejo Melihat Tuhan (GPU, 1993).
Dunia buku dianggap memasuki senjakala, karena serbuan internet dan teknologi lainnya. Mengapa Kepustakaan Populer Gramedia alias KPG berani menerbitkan buku esai dari penulis senior yang kurang dikenal kids zaman now?
Pertanyaan sang pembawa acara ini dijawab lugas Pak Candra. Bahwa KPG yakin suatu bangsa tidak akan berdiri kokoh jika tidak ada yang bersedia menerbitkan buku yang mengandung nilai kebenaran.
Esai yang baik tidak sekadar memaparkan peristiwa tapi memberi perspektif lain, memberi wawasan dan pemikiran baru. Berbeda dengan jurnalis yang hanya menuliskan peristiwa yang terjadi .
Kang Sobary yang seorang doktor, peneliti LIPI, dengan pengalaman kaya, sehinggga esainya jika mengupas sebuah peristiwa tidak akan sama dengan penulis dan pengamat lain. Itulah pentingnya seorang esais.
Menurut Pak Candra, KPG ingin menemukan solusi dari seabrek permasalahan di negeri ini. Cara Kang Sobary merespon masalah yang ada lewat tulisannya cukup membuat pembaca merenung dan berpikir lebih dalam.
Kang Sobary seorang penulis yang konsisten menuliskan sebuah peristiwa dengan akal sehat publik, memperjuangkan sikap empati pada publik bahwa publik sanggup menjaga nalarnya. Masyarakat Indonesia sejatinya cerdas, dapat berpikir jernih.
Jika esais lain kerap meremehkan akal sehat publik, menganggap masyarakat bodoh, tulisan Kang Sobary mencoba berbeda, ia kerap ngomong tentang akal sehat, tetap berempati pada publik, berpihak pada publik. Misalnya bagaimana esainya menunjukkan keberpihakan Kang Sobary pada petani Kendeng.
Sikap semacam ini bisa kita temui pada hampir setiap persoalan isu yang beliau tulis. Karakteristik pemikirannya tidak mengawang-awang, ia memihak yang lemah.
Keberpihakan dalam esai Kang Sobary, menurut Mas Afif, sang pembahas terlihat jelas. Penulis buku Mengendalikan Masa Depan dan Teori identitas Sosial ini membandingkan Kang Sobary dengan esais dan budayawan terkenal lainnya.
Menurut Kang Sobary, Untuk sepaham, nggak mesti seragam. Jadi, kenapa harus bertengkar di media sosial, yes? Ia juga terkadang mengijinkan anaknya tidak masuk sekolah asal keesokan harinya ia membawa gambar dan cerita kegiatannya saat tidak masuk sekolah.
"Saya suka kemewahan hidup yang tidak memihak. Tidak ada yang tidak memihak. Sayangnya generasi sekarang kurang kenal wayang, banyak kebaikan di dalamnya. Moral kita diseting di pewayangan. Kita pasti nemihak Pandawa, dan bukan Kurawa," ujar Kang Sobary.
"Saya suka kemewahan hidup yang tidak memihak. Tidak ada yang tidak memihak. Sayangnya generasi sekarang kurang kenal wayang, banyak kebaikan di dalamnya. Moral kita diseting di pewayangan. Kita pasti nemihak Pandawa, dan bukan Kurawa," ujar Kang Sobary.
Mengapa kita membutuhkan kebudayaan? Padahal saat ini kita berada di zaman modern. Saat ini, Terjadi penyeragaman gaya hidup. Manusia modern tercerabut dari akar kebudayaannya, membuat kehampaan dan keterasingan terjadi karena kebutuhan akan akar. Timbul resistensi.
Kebutuhan akan akar seseorang, adalah hal yang tidak bisa ditolak. Kesadaran primordial meningkat. Pada dasarnya manusia tidak bisa keluar dari rumahnya, terjadi keagresifan jika tercerabut, bunuh diri dll. Untuk itulah, kita membutuhkan kebudayaan.
Kebutuhan akan akar seseorang, adalah hal yang tidak bisa ditolak. Kesadaran primordial meningkat. Pada dasarnya manusia tidak bisa keluar dari rumahnya, terjadi keagresifan jika tercerabut, bunuh diri dll. Untuk itulah, kita membutuhkan kebudayaan.
Benang merah esai Kang Sobary dalam buku ini adalah keberpihakan pada orang kecil dan keawaman, semangat resistensi yang kental terhadap ketidakberesan, ketidakaturan, penyelewangan yang terjadi.
Resistensinya yang real, yang kita rasakan sehari-hari, seruan untuk memelihara akal sehat, ia menuliskan hal yang esensial, tidak hanya teknis, upaya mendialogkan modernitas dengan kebudayaan yang kita anut, sehingga kehidupan modern lebih dikurangi sifat destruktifnya.
Tentu saja, Kang Sobary tidak menjamin seratus persen kebenaran dalam esainya, kebenaran milik Allah. Ada masa ketika ia marah pada ketidakadilan yang terjadi tapi bukan kemarahan pribadi. Tapi sebagai warga negara yang peduli pada permasalahan yang ada. Ia ingin merombak tradisi tapi kalau bisa lewat esainya, tapi kalau bisa. Jika nggak bisa ya tak apa. Ia sadar diri, ia bukan nabi.
Alhamdulillah, Mimin bahagia bisa hadir di acara bedah buku Tikuse Pada Ngidung hari itu. Walau sebentar waktunya, cukup membuka pikiran dan wawasan Mimin Semarang Coret.
Apalagi, Mimin dapat buku bertandatangan budayawan ini. Sayang nggak sempat foto bareng karena beliau dan Pak Candra mengejar pesawat. Sukses untuk Penerbit KPG dan Kang Sobary semoga bukunya bermanfaat, aamiin! Sehat selalu, Kang!
Alhamdulillah, Mimin bahagia bisa hadir di acara bedah buku Tikuse Pada Ngidung hari itu. Walau sebentar waktunya, cukup membuka pikiran dan wawasan Mimin Semarang Coret.
Apalagi, Mimin dapat buku bertandatangan budayawan ini. Sayang nggak sempat foto bareng karena beliau dan Pak Candra mengejar pesawat. Sukses untuk Penerbit KPG dan Kang Sobary semoga bukunya bermanfaat, aamiin! Sehat selalu, Kang!
8 Komentar
Seru banget ya min acara bedah bukunya. Sayang banget aku nggak bisa dateng. HUHUHU.
BalasHapusUntuk sepaham nggak mesti seragam. Kudu belajar toleran nih
BalasHapusKayak gimana sih bukunya? Jadi penasaran...
BalasHapusnyesel ngga datang acara ini, buka wawasan baru yaa mba. bapaknya peneliti lipi lagi, ini cita2ku yg blm kesampean hiks
BalasHapusTikuse Pada Ngidung sepertinya buku yg bagus & menambah wawasan. Aku sendiri baru tahu tentang Kang Sobary setelah baca artikel mbak Dew yg ini. Terima kasih sudah berbagi :)
BalasHapusWah kayany membaur banget ya acarany, salut 👍
BalasHapusMenurutku buku memang nggak akan bisa digantikan dengan apapun, Mbak. Meskipun bacaan di internet bejibun, buku tetap ada tempat tersendiri di hati pembacanya.
BalasHapusAnakku suka nonton wayang waktu masih sekolah TK, mba. Kayaknya nurun dari aku dan simbahku dulu. Nyesel banget nggak ikut acara bergizi ini
BalasHapus