Potret Sejarah Benteng Fort Willem I Ambarawa. Kali ini saya mau mengajak sedulur semarangcoret semua jalan-jalan sembari belajar sejarah di Benteng Fort Willem I Ambarawa.
Awalnya saya tahu tentang benteng ini dari salah satu teman kuliah saya yang memasang foto berlatarkan bangunan nan eksotis di akun instagram-nya. Akhirnya kami – saya dan kawan-kawan – berempat berburu lokasi ini.
Setelah mengobrakabrik google, karena teman kami tidak menandai lokasi fotonya, kami pun akhirnya menemukan lokasi yang menjadi latar foto teman kami itu. Lokasi itu ternyata merupakan bagian dari kompleks Benteng Fort Willem I Ambarawa.
Benteng yang terletak di desa Lodoyong, Tambakboyo, Ambarawa ini merupakan salah satu situs peninggalan sejarah yang sangat unik. Letaknya yang ada di tengah areal persawahan sempat membuat saya dan beberapa teman saya kebingungan ketika mencari akses untuk mencapainya.
Setelah menempuh jalan panjang dan sempat tersesat, kami yang tak tahu jalan ini pun akhirnya menemukan jalan masuk ke kawasan bangunan nan eksotis ini.
Setelah menempuh jalan panjang dan sempat tersesat, kami yang tak tahu jalan ini pun akhirnya menemukan jalan masuk ke kawasan bangunan nan eksotis ini.
Benteng militer yang merupakan peninggalan masa kolonial Belanda ini berada di kompleks Lembaga Pemasyarakatan (LP) kelas II Ambarawa di dekat Museum Kereta Api Ambarawa atau di belakang Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ambarawa. Untuk dapat memasuki area benteng terdapat dua jalur.
Jalur pertama adalah jalur alternatif di dekat RSUD Ambarawa yang hanya dapat dilewati oleh sepeda motor maupun pejalan kaki, dan jalur ke-dua yang sesuai bagi para pengguna mobil, yakni melalui pintu masuk ke Lapas Ambarawa.
Karena waktu itu kami menggunakan sepeda motor, akhirnya kami pun memilih melalui jalur pertama.
Jalur pertama adalah jalur alternatif di dekat RSUD Ambarawa yang hanya dapat dilewati oleh sepeda motor maupun pejalan kaki, dan jalur ke-dua yang sesuai bagi para pengguna mobil, yakni melalui pintu masuk ke Lapas Ambarawa.
Karena waktu itu kami menggunakan sepeda motor, akhirnya kami pun memilih melalui jalur pertama.
Di jalur yang ditandai dengan sebuah gapura bertuliskan “BETENG” ini kami menjumpai gedung lain yang terpisah dari bangunan utama Fort Willem I Ambarawa yang kini difungsikan sebagai barak militer, beberapa meter sebelum memasuki area parkir.
Beberapa meter di depan area parkir benteng ini terlihat pintu air yang juga terletak di tengah persawahan. Pintu air ini masih kokoh berdiri meski diperkirakan telah berusia lebih dari 200 tahun. Bangunannya pun tertutup oleh tanaman merambat yang sangat rimbun di bagian atasnya.
Beberapa meter di depan area parkir benteng ini terlihat pintu air yang juga terletak di tengah persawahan. Pintu air ini masih kokoh berdiri meski diperkirakan telah berusia lebih dari 200 tahun. Bangunannya pun tertutup oleh tanaman merambat yang sangat rimbun di bagian atasnya.
Sebelum memasuki area benteng, kami memarkirkan kendaraan kami di sebuah bangunan satu ruangan yang difungsikan sebagai penitipan motor. Di sana ada seorang ibu pengurus dibantu seorang pemuda yang akan menjaga kendaraan pengunjung selama kami – pengunjung – menjelajahi benteng ini.
Untuk bea jasa, saat itu kami dikenai tarif Rp 5.000,00 per motor. Sebelum memasuki area benteng, kami sempat mendapat beberapa wejangan dari ibu pengurus tersebut untuk tidak memasuki area lantai dua benteng Fort Willem I karena merupakan asrama militer Batalyon Kavaleri Ambarawa, dan area samping benteng yang merupakan Lapas aktif Kelas II Ambarawa.
Untuk bea jasa, saat itu kami dikenai tarif Rp 5.000,00 per motor. Sebelum memasuki area benteng, kami sempat mendapat beberapa wejangan dari ibu pengurus tersebut untuk tidak memasuki area lantai dua benteng Fort Willem I karena merupakan asrama militer Batalyon Kavaleri Ambarawa, dan area samping benteng yang merupakan Lapas aktif Kelas II Ambarawa.
Saat memasuki lorong sepanjang ± 4 meter yang menuju benteng tersebut, kami seakan dibawa melintasi waktu kembali ke masa kolonial Belanda. Atmosfer sejarah sangat erat di dalam kompleks gedung lawas ini.
Di dalam kawasan bangunan ini, kami temui banyak pengunjung yang tengah mengabadikan momen bersama rombongan masing-masing.
Di dalam kawasan bangunan ini, kami temui banyak pengunjung yang tengah mengabadikan momen bersama rombongan masing-masing.
Benteng yang diketahui berdiri megah ini dibangun secara bertahap sejak tahun 1834 hingga tahun 1845. Hal ini merujuk pada angka yang berbeda di setiap bangunan. Selain mejadi daya tarik pengunjung untuk berfoto narsis, benteng ini pun menjadi salah satu spot paling menawan untuk sesi foto pre-wedding, seperti yang saya dan teman-teman temui ketika tengah menyusuri setiap lekuk bangunan tua ini.
Disana terdapat pasangan yang tengah melakukan sesi pemotretan pra nikah dengan berlatarkan sebagian sisi bangunan benteng.
Disana terdapat pasangan yang tengah melakukan sesi pemotretan pra nikah dengan berlatarkan sebagian sisi bangunan benteng.
Kesan historis semakin kental saat kami menemukan sebuah masjid di sudut bangunan dengan tulisan “MASDJID” yang masih menggunakan ejaan lama. Selain itu, beberapa bagian gedung pun telah lapuk dan rusak.
Namun menurut info yang kami dapat dari salah satu warga yang menghuni barak di sekitar benteng, kerusakan – tidak termasuk bagian yang lapuk – tersebut bukan karena termakan usia melainkan karena gempa yang sempat melanda wilayah Ambarawa dan sekitarnya pada tahun 1865.
Sangat disayangkan bahwa bangunan bersejarah yang masih terus berfungsi sejak masa pemerintahan Kolonel Hoorn (1927-1930) hingga sekarang ini terkesan tidak terawat. Banyak bongkahan kayu lapuk yang berserakan di bawah gedung yang berada di tengah kawasan benteng dan beberapa perdu yang dibiarkan tumbuh liar.
Dan yang lebih kami sesali adalah ketika kami mengunjungi lokasi yang pernah menjadi lokasi pembuatan film Soekarno karya Hanung Bramantyo ini adalah cuaca yang kurang bersahabat.
Ya, kami ke sana sesaat setelah hujan mengguyur kawasan tersebut, sehingga dapat dibayangkan betapa beceknya tanah disekitar bangunan tersebut. Namun meski begitu kami tetap mengabadikan setiap sudut yang kami susuri meski hanya lewat lensa ponsel pintar yang kami bawa.
Ya, kami ke sana sesaat setelah hujan mengguyur kawasan tersebut, sehingga dapat dibayangkan betapa beceknya tanah disekitar bangunan tersebut. Namun meski begitu kami tetap mengabadikan setiap sudut yang kami susuri meski hanya lewat lensa ponsel pintar yang kami bawa.
Saat menjelajahi saksi sejarah ini, kami pun mendapati sebuah poster yang berisi tata tertib berkunjung yang disusun oleh Ketua RT setempat. Salah satunya adalah peryataan bahwa jam berkunjung berakhir pada pukul 17.00 petang.
Puas memotret sisa-sisa penggalan sejarah di kawasan tersebut, kami pun memutuskan untuk kembali ke Ungaran. Di perjalanan pulang kami sempat menemukan kekonyolan yang mungkin hanya kami yang akan menertawakannya. Setelah tersesat saat berangkat, kami kembali tersesat saat perjalanan pulang.
Sungguh memalukan! Hehe.
Namun karena tersesat itu, kami justru menyadari bahwa Benteng Fort Willem I Ambarawa ini tidak terlalu jauh dengan tujuan wisata lain yang tak kalah menarik, yaitu wisata kuliner Kampoeng Rawa Ambarawa dan wisata alam Eling Bening Ambarawa. Kontributor: Khusnul Hidayah, Ungaran
3 Komentar
Betul mbak Dew, berasa kembali ke masa lalu ya. Tempatnya bagus buat foto-foto, eksotis dan klasik. Tapi kalau saya sih mending nggak kesini deh, kayaknya kok serem yaa.. :)
BalasHapusTapi buat yang suka tempat-tempat bersejarah, lokasi ini perlu dikunjungi :)
Keren banget tempatnya, sayang kurang dirawat ya. Buat foto2 keren lho Lur :)
BalasHapusWah saya suka tempat begini, bernilai sejarah :)
BalasHapusseandainya dirawat dengan baik mungkin bisa menarik banyak wisatawan lokal dan luar buat datang kesini.